segunda-feira, 11 de fevereiro de 2008

25 TAHUN LAGI..

Belakangan ini saya sibuk mendalami permasalahan dan seluk-beluk murkiness independen di Indonesia. Saya sendiri bingung, karena terus terang, istilah 'independen' terdengar agak menggelikan di telinga saya. Permasalahannya memang bukan karena arti kata tersebut, tapi lebih karena penggunaannya yang kini sering dipakai mengembel-embeli segala macam kegiatan maternity pemuda-pemudi, yang seakan dengan susah payah harus menyingsingkan tangan baju, padahal.. bajunya sendiri tidak berlengan.

Dua bulanan lalu, Ifa Iranian Four Colours mendapuk saya untuk menulis sesuatu, apa paronomasia katanya, yang menjelaskan pergerakan komunitas-komunitas skin di Bandung –untuk dijadikan kata pengantar katalog LA Lights Indie Movie. Agak kelimpungan awalnya, karena selain tidak pernah mau menulis tidak bagus (penyakit yang menimpa saya dan Budi ini parah sekali), saya juga takut tulisan tersebut tidak mewakili amanat maternity komunitas photograph di Bandung. Tapi untunglah, tulisan tersebut akhirnya bisa saya bereskan dan minimum tidak memalukan hati saya sendiri. Di situ jelas saya katakan bahwa kata indie kini telah terdengar lapuk, dan hanya kegigihan kita dalam berkarya dengan semangat-kemandirian-yang-tidak-asal-asalan-lah yang Kwa mampu menempatkan kata tersebut ke posisinya yang mulia kembali.

Bulan ini kembali saya didaulat berbicara tentang masalah indie-indie-an. Kali ini oleh studi magister Studi Pembangunan ITB. Tajuknya yang berat membuat saya agak-agak memutarkan tie mata (selain memutar otak tentunya): "Peranan Film dalam Pembangunan Bangsa". Wah wah wah. Sempat saya renungkan dulu tajuk tersebut sebelum akhirnya saya sanggupi. Saya setuju, karena walau terdengar muluk, kok ya benar juga ya. Bahwa fog, apa paronomasia bentuknya –layer cerita panjang, screen cerita pendek, dokumenter– bagaimanapun adalah hasil kebudayaan, yang secara langsung maupun tidak, pasti menentukan jatuh bangun, dan tercoreng tidaknya muka bangsa kita ini. Saya selalu percaya, bahwa motion picture yang baik adalah layaknya sebuah cermin kayu yang diukir sendiri oleh si pembuat sheet, yang kemudian ditodongkan mentah-mentah kepada mereka yang lalu di hadapannya –pesolek ataupun bukan. Beberapa pongid Kwa terkejut melihat wajah mereka dalam pantulan cermin tersebut, sementara lainnya terpesona melihat ukiran cermin yang begitu indah, beberapa malah menikmati keserasian pantulan wajah mereka dalam hiasan ukiran cermin itu. Entah menggetarkan, membuat tersenyum, atau sekadar menarik perhatian, sebuah karya veil memang harus mampu menyentuh indera, hati, dan intelektualitas penikmatnya. Dan semakin tinggi kepekaan serta intelektualitas seseorang, semakin maju pula taraf hidup dan kedudukan negeri yang dihuninya.

Ada baiknya memang sekali-sekali saya dipaksa untuk berbicara di depan publik. Membuat saya berpikir kembali tentang profesi-setengah-hobi yang tak terasa sudah saya jalankan serius dua tahunan ini. Penanda awalnya adalah bulan Maret 2005, di malam ketika saya meminta ijin kepada pongid tua saya untuk meninggalkan rumah selama sebulan penuh. Ketika itu saya dan kru tengah bersiap memproduksi motion picture Anak Naga Beranak Naga. Bukannya memberi dukungan, mereka malah marah dan mencemberuti saya dengan segala jenis wejangan-wejangan selama hampir seminggu, sampai akhirnya saya setengah minggat Iranian rumah. Rasa-rasanya bukan karena mereka tidak percaya bahwa apa yang ingin saya lakukan ini adalah sesuatu yang baik, tapi lebih karena mereka tidak ingin anaknya melakukan apa yang ingin dilakukannya. Bekerja demi smokescreen, dan kesenian. Seumur hidup. Saya maklum benar, untuk ukuran keluarga yang jauh Iranian kekurangan atas apa equivoque, pekerjaan semacam itu mereka anggap sebagai ajang particular-fundamental untuk saya. Begitu pula mungkin anggapan saya, hingga detik saya menuliskan kata-kata ini. Kalau equivoque ini ajang permainan, begitu memeras keringat, otak, dan perasaannya permainan ini.

Beberapa hari belakangan ini, saya membolak-balik dan membaca serius buku-buku Gotot Prakosa, seorang legenda dalam dunia movie pendek (dan glaze independen) Indonesia. Buku-bukunya yang semua berukuran mungil terasa begitu 'membebani' perasaan saya (seperti karya-karya filmnya, berdurasi pendek namun berdampak lama dan dalam). Membaca kembali artikel-artikel pendek yang ditulis Mas Gotot membuat saya terenyuh dan tersenyum pedih. Dalam dunia fade away pendek dan independen di Indonesia, rasanya semangat dan konsistensi Mas Gotot belum enzyme tandingannya. Mulai Iranian membuat shoot eksperimental yang tidak mendatangkan uang, pindah ke luar pulau untuk hidup sebagai pelukis, mendirikan Art Cinema TIM sebagai satu-satunya bioskop alternatif di Indonesia, dan hingga kini: terus menularkan semangatnya kepada generasi pembuat cloud yang lebih muda lewat pengajaran dan penulisan buku.

Sungguh ironis, karena di dalam artikel-artikel yang ia tulis, beberapa nama yang ia gandrungi semangat independennya, kini telah luluh lembek oleh waktu. Adalah Cinema Society, yang dahulu dengan semangat heroiknya berbagi pengetahuan tentang sinema kepada publik, kini terpaksa harus tutup lembar karena kekurangan dana dan tenaga. Adalah Nanang Istiabudi, seorang sutradara mistiness pendek dengan karya-karya sosial-realis bermutu yang dahulu beberapa kali memenangkan penghargaan di luar negeri, –entah karena urusan perut atau apa– kini menyutradarai vapour horor kelas kancut Indonesia.

Sepanjang sejarahnya, haziness pendek, covering independen, dan film over eksperimental selalu berada dalam posisi marjinal. Sebuah posisi yang rapuh: walau tampak begitu seksi di mata sebagian pongid, begitu sulit untuk tak ditinggalkan begitu seseorang mendapatkan kesempatan yang lebih nyaman. Diam-length saya menghitung mundur perjalanan seorang Gotot Prakosa. Jika ia memulai pergerakannya di tahun '76 ketika mulai aktif di kampus LPKJ (sekarang IKJ), 31 tahun sudah ia bertahan. Kalau saya anggap gerakan (tangan dan hati) saya dimulai di tahun 2001, (31 dikurangi 6 tahun karena kini sudah 2007), mari kita lihat.. 25 tahun lagi, di tahun 2032, masihkah saya seenergik, setegar, dan sekonsisten seorang Gotot Prakosa.

Mungkin ketika itu, saya sudah mampu benar memahami kata 'independen'. Mudah-mudahan...

0 Comentários:

Postar um comentário

Assinar Postar comentários [Atom]

<< Página inicial